Wednesday, March 31, 2004

WARNA WARNA

anak anak kecil menyeringai gembira
tak peduli warna-warni yang tertempel di punggungnya
mereka tak percaya kerbau adalah dewa
buat mereka kerbau hanyalah hewan tunggangan
mereka tak mengerti kenapa beringin di sucikan
beringin tak bisa diambil buahnya dan tak enak dipanjati
mereka hanya menganggap matahari sekedar lampu dunia
yang tak ada hubungannya dengan terangnya hati
mereka diajari bahwa ka'bah adalah penunjuka arah
tapi bukan ka'bahnya yang disembah
mereka hanya tahu bulan saat purnama
dan bintang saat tidak mendung
keadilan untuk mereka berarti kesetaraan
bukan sekedar eksklusifitas

anak-anak kecil menari gembira
tak peduli warna-warni yang membagi-bagi mereka

Saturday, March 27, 2004

PUSARA MIMPI

mimpi-mimpi yang kautawarkan mati dengan cepat
hanya sejenak setelah kau berikan,
mimpi itu mekar, menjadi bunga termegah yang pernah kulihat
tapi sebelum kusentuh
kelopaknya mengeriput dan layu
tangkainya mengering.
bahkan durinya rapuh disentuh runtuh.

mimpi-mimpi yang kau tawarkan mati prematur.
sebelum dapat dinikmati.
harumnya telah menghilang.
warnanya pudar
bahkan serat-seratnya memucat mati

mimpi yang kau anjurkan hanya sebatas imaji
kenyataannya masih terpendam sedalam 2 kaki
diikat oleh pusara hati, yang mengkilat hitam dan beralur
walau tampak kokoh di permukaan
akarnya hancur oleh cacing

Tuesday, March 23, 2004

KEMATIAN ADALAH BAHASA KEDUA BAGIKU

kematian menjadi bahasa kedua bagiku
sebab kehidupan tak memberiku kata-kata yang tepat untuk melukiskan perasaanku

kematian adalah sukma dari kebahagiaan
semua yang kau cari dalam kehidupan, disediakannya
kematian memberimu jeda untuk sekedar beristirahat
kematian melepaskan segala derita dan menjamin keabadian
kematian memberimu sesuatu yang baru, yang gagal ditawarkan kehidupan

jadi kenapa harus takut pada mati?
INCOGNITO

Aku coba untuk sembunyi dalam bayangan
Melarikan diri dari tanggungjawabku
Tapi ketakutanku ternyata mengikutiku - terus, terus
Aku coba untuk menyamar dibalik topeng
Menghindar dari kewajibanku
Tapi sekali lagi ketakutanku mengejar

Incognito
aku belum menyerah
kuganti namaku, kulepas identitasku
Kutepis semua bukti eksistensiku
Kuselubungi diriku dengan kegelapan
tapi ketakutanku menyerangku lewat desah nafasku

Incognito
kapan aku mampu melepasmu, wahai ketakutanku
apakah aku harus melepaskan nafasku?

Monday, March 22, 2004

SAAT INI SEDANG MUSIMNYA BERBOHONG

aku mendengar janji-janji di ucapkan dengan mudah
aku mendengar janji-janji di muntahkan bersamaan dengan ludah
dengan mulut berbusa dan mata nyalang oleh nafsu
ratusan orang berebut kursi
seolah-olah tanggung jawab adalah sebuah anugerah

ratusan orang melupakan kesejatian mereka
cendekiawan, rohaniwan, kiai, pendeta, cerdik pandai, guru, ahli hukum
berbaur bersama dengan preman, penjilat, pantat kuda, bekas pejabat
dengan mulut berbusa oleh janji yang akan segera diingkari
mereka berebut jabatan
seolah-olah kewajiban tak punya konsekuensi

berteriak, mencela sahabat sesama pendosa
menjerit, seolah merasakan sakit orang yang ditindasnya

berbohong yang dulu dilarang dalam ceramah-ceramah
kini seolah menjadi platform cara bicara para ustad
pepatah sedikit bicara banyak bekerja; seolah dilupakan
jika diam itu emas; kini bicara menjadi platina
ludah-ludah yang beterbangan
baunya hanya diimbangi busuknya liur mereka
yang berceceran sepanjang altar
melintasi karpet merah dan tangga dari tanah liat
mereka saling berebut, mencakari temannya, melolosi senjata
saling membacok, menyabet, memuntahi rival yang dulu sobatnya

malu aku pada peci-peci mereka
pada kopiah dan surban
pada jenggot dan ketuaan

tapi kini memang jamannya bicara bohong
walau aku malu; tapi akupun terkadang ikut berbohong
demi selembar uang bergambar mantan presiden dan sepotong kaos partai


Saturday, March 13, 2004

PSIKO-ISME

aku terperangkap dalam kesedihan hari ini
aku dipermainkan oleh kegembiraan
ia memesonaku
mengajakku berlari bersama, lalu meninggalkanku

ternyata kebahagiaan dan kegembiraan hanya teman sesaat
tapi kesedihanlah yang sejati bersamaku
saat kawan-kawanku lainnya pergi
ia tetap bersamaku
saat musim berganti
ia tetap bersamaku

aku terbiasa hidup dengan kesedihan
ia melayaniku dengan sempurna
aku bagai raja dimanjanya
diatas pedangnya kuletakkan perlindunganku
aku terbiasa membutuhkannya mengisi relung hatiku

tapi kesedihan juga kemudian mengecewakanku
ia terlalu posesif
tak mau melepaskanku dari pelukannya
diusirnya ketenangan, ditendangnya perkembangan
aku dilayaninya bagai kaisar, tapi dibelenggu bagai pesakitan

aku terperangkap bersama kesedihan
tapi kesedihan adalah temanku satu-satunya
aku tak bisa memiliki teman lain
karena pedang kesedihan melindungiku dari sakit hati
dan dengan pedang yang sama, ia mengusir setiap keceriaan
yang mencoba menyusup ke hatiku

-aku menulis ini dengan membayangkan hati seseorang-